Kemarin saya mengobrak-abrik buku-buku lama yang tersimpan di lemari tuk mencari data primer sebagai penelitian, saya membuka kumpulan rumus turunan yang sempat saya tulis ketika SMA. aku mendapatkan sesuatu yang terselip rapi di dalamnya dan mengorek kembali kenangan di otakku. Secarik kertas berwarna pink, yang dulunya punya bau parfum (entah apa mereknya) sudah pudar, kembali menjadi bau kertas tua. dari seseorang yang mungkin berharga.
Menatap
sejenak masa lalu yang sempat tertinggal jauh, mungkin terasa dalam saat itu. Saya
tidak memungkiri bahwa saat itu masa terindah dengannya. Semua orang punya masa
lalu, baik suka maupun duka susah dan juga senang. Entah ini sebuah wacana
kecil dari jiwa yang terkenang akan tentangnya, juga tentangku. Sejenak aku
kembali mengingat, bukankah engkau juga pernah demikian? Apapun itu, ini juga
adalah potongan kisah yang terlampau jauh dan telah tertinggal, mungkin juga
sudah mati. Aku tidak mengatakan ini yang terindah, aku juga tidak mengatakan
hatiku masih di sana, tetapi denah dalam otakku masih menyimpan bagian yang
ini. Karena tidak mungkin melupakan, aku hanya mencoba berdamai dengan masa
lalu yang tidak mungkin aku kembalikan.
Secarik
puisi ini dituliskan untukku di masa yang lalu, dimasa sekolah yang berlalu,
di dunia entah berantah kini. Dari seorang hawa yang pernah tulus, dari seorang
yang pernah melihatku dengan hati, dari seorang yang memeluk hatiku dalam
kedinginan.
Belahan
Jiwa (Copyright By: Linna)
Membaca lagi surat – suratmu
Hatiku jatuh rindu
Tak sadar pada lagit kamarku, kulukis kau disitu
Waktu yang berlalu dan jarak masih saja terentang
Penamu berbicara menembus ruang, menyapa sukmaku
Mendesah lembut angin, membawa butiran hati lara
Ternyata meraih kesempatan tak semudah kusangka
Ku berharap kau dan aku setia menunggu waktu
Sebagai takdir penentu dari-Nya
Memendam tanya segera terucap
Belahan jiwa apa kabarmu?
Ku harap selalu tetap kau jaga
Tumbuhan cinta di ladang kita
Kau disini... aku jauh disana menggapai cita
Hingga… suatu saat pasti ku kan kembali dan bersama
lagi.
Itu
adalah puisi yang dia tuliskan saat – saat terakhir menikmati ruang kelas
dengan pakaian putih abu – abu tahun 2006 silam. Pada masa itu, belum popular
yang namanya handphone, belum eksis yang namanya sms, cuma melalui surat rasa itu mengalir. Tegur sapa pun jarang, apalagi bersama. Tetapi rasa itu
punya cara tersendiri menikmatinya. Bahagiakah? Atau hanya sekedar rasa seperti
layaknya cinta monyet yang tidak bertanggung jawab. Aku tidak mengetahuinya. Jawabannya ada dimasa sekarang, aku cukup mengenang, seperti kaca spion pada kendaraan, kita cukup melihat sebagai acuan untuk kedepan. Bukan juga sebagai pedoman atau pengganti.
Untukmu
masa laluku, untukmu rasa saat itu saja, mungkin sudah cukup di waktu itu. Jika
memang tertinggal sedikit rasa, biarkan waktu yang menjawabnya hingga engkaupun
bisa berdamai dengan masa lalumu. Jika kau bertanya padaku, kaupun telah
berdamai dengan masa itu. Karena bahagiamu kini dan bahagiaku sekarang dan
nanti telah di peluk oleh masa depan kita masing – masing. Terima kasih untuk masa itu.