Sabtu, 13 Juni 2015

Entah Berantah


Kemarin saya mengobrak-abrik buku-buku lama yang tersimpan di lemari tuk mencari data primer sebagai penelitian, saya membuka kumpulan rumus turunan yang sempat saya tulis ketika SMA. aku mendapatkan sesuatu yang terselip rapi di dalamnya dan mengorek kembali kenangan di otakku. Secarik kertas berwarna pink, yang dulunya punya bau parfum (entah apa mereknya) sudah pudar, kembali menjadi bau kertas tua. dari seseorang yang mungkin berharga.
Menatap sejenak masa lalu yang sempat tertinggal jauh, mungkin terasa dalam saat itu. Saya tidak memungkiri bahwa saat itu masa terindah dengannya. Semua orang punya masa lalu, baik suka maupun duka susah dan juga senang. Entah ini sebuah wacana kecil dari jiwa yang terkenang akan tentangnya, juga tentangku. Sejenak aku kembali mengingat, bukankah engkau juga pernah demikian? Apapun itu, ini juga adalah potongan kisah yang terlampau jauh dan telah tertinggal, mungkin juga sudah mati. Aku tidak mengatakan ini yang terindah, aku juga tidak mengatakan hatiku masih di sana, tetapi denah dalam otakku masih menyimpan bagian yang ini. Karena tidak mungkin melupakan, aku hanya mencoba berdamai dengan masa lalu yang tidak mungkin aku kembalikan.
Secarik puisi ini dituliskan untukku di masa yang lalu, dimasa sekolah yang berlalu, di dunia entah berantah kini. Dari seorang hawa yang pernah tulus, dari seorang yang pernah melihatku dengan hati, dari seorang yang memeluk hatiku dalam kedinginan.

Belahan Jiwa (Copyright By: Linna)

Membaca lagi surat – suratmu
Hatiku jatuh rindu
Tak sadar pada lagit kamarku, kulukis kau disitu
Waktu yang berlalu dan jarak masih saja terentang
Penamu berbicara menembus ruang, menyapa sukmaku
Mendesah lembut angin, membawa butiran hati lara
Ternyata meraih kesempatan tak semudah kusangka
Ku berharap kau dan aku setia menunggu waktu
Sebagai takdir penentu dari-Nya
Memendam tanya segera terucap
Belahan jiwa apa kabarmu?
Ku harap selalu tetap kau jaga
Tumbuhan cinta di ladang kita
Kau disini... aku jauh disana menggapai cita
Hingga… suatu saat pasti ku kan kembali dan bersama lagi.


Itu adalah puisi yang dia tuliskan saat – saat terakhir menikmati ruang kelas dengan pakaian putih abu – abu tahun 2006 silam. Pada masa itu, belum popular yang namanya handphone, belum eksis yang namanya sms, cuma melalui surat rasa itu mengalir. Tegur sapa pun jarang, apalagi bersama. Tetapi rasa itu punya cara tersendiri menikmatinya. Bahagiakah? Atau hanya sekedar rasa seperti layaknya cinta monyet yang tidak bertanggung jawab. Aku tidak mengetahuinya. Jawabannya ada dimasa sekarang, aku cukup mengenang, seperti kaca spion pada kendaraan, kita cukup melihat sebagai acuan untuk kedepan. Bukan juga sebagai pedoman atau pengganti.

Untukmu masa laluku, untukmu rasa saat itu saja, mungkin sudah cukup di waktu itu. Jika memang tertinggal sedikit rasa, biarkan waktu yang menjawabnya hingga engkaupun bisa berdamai dengan masa lalumu. Jika kau bertanya padaku, kaupun telah berdamai dengan masa itu. Karena bahagiamu kini dan bahagiaku sekarang dan nanti telah di peluk oleh masa depan kita masing – masing. Terima kasih untuk masa itu.


Sabtu, 26 Juli 2014

Dingin

Diselipkan dalam rinai
Menggapai jiwa tenang dalam rindu
Tanah hari ini telah meresapi arti
Arti dari tetes-tetes sampai deras
Selimuti semua yang ada di atasnya

Aku menunggu segalanya usai
Derasnya bisa menghukumku
Tiba disuatu tempat teduh
Aku kembali menunggu, serasa beku
Jemari semakin terasa kaku

Di sini mugkin akan jadi cerita esok
Jalanan panjang ini, ketika bersua
Atau lubang-lubang jalan rusak
Bisa juga tentang pohon dan rerumputan yang terlihat segar

Di sini, masih ada yang bisa ku ceritakan pada semua. Semoga.

Menanti hujan reda, 26-07-2014

Senin, 21 Juli 2014

Wahai Sahabat

Ingatkanku tentangmu, tentang kita
Dari segala kenangan kita teman
Segala cerita kita kawan
Segala ceria kita rekan
Segala canda dan tawa kita sahabat
Segala sedih dan senyum kita, saudaraku..

Mungkin kau telah lelah dari semua
Atau juga kau sangat di sayang Oleh-Nya..
Hingga Dia Menjemputmu lebih awal
Kita tidak bersama lagi sobat

Masih ku ingat ceria raut wajahmu
Suara kritismu, ketika itu
Ruangan Fakultas Teknik pun jadi sepi
Hingga keberadaanmu menggema
Kawan, kau telah berjuang hingga lelah..
Tak bisa menahan semua, hingga menyerah juga..
Kau hebat, kami tinggal menunggu
Menunggu giliran, menyusul kesana
Tempatmu sekarang berbeda
Kami tidak akan melupa
Kita telah bersama menempuh study dan semua tentang study...

Kau bukan sekedar teman. Jadi kami mengingat walau tempat kita telah berbeda...
Selamat jalan kawanku, temanku, rekanku, sahabatku dan juga saudaraku.
Bahagialah di tempatmu yang baru..

Untukmu Sahabat, Adhi Sucipto.
(23'07'88 - 21'07'14)

Minggu, 20 Juli 2014

Survei Gaje Part II

If you remember that...




By the way, malam ini saya akan membahas lanjutan tulisan yang saya posting kemarin, tentang penyebab 'sementara' minat menulis di kalangan remaja maupun yang akan dan sudah baligh di Kota Air ini. Pembahasan ini hanya sekedar fiktif belaka, jika ada kesamaan nama pemeran, tempat maupun ide itu adalah pilihan saya, karena yang posting saya sendiri tanpa bantuan Pemerintah setempat. Setelah menganalisa lebih lanjut, saya mendapatkan fakta baru mengapa jarang membaca menjadi masalah 'sementara' penyebab minat menulis itu pun menjadi sasaran amuk massa. Akibatnya banyak rumah rusak dan sarana umum dibakar. (Mainstream sakali euy).
Setelah menemukan fakta baru dari sampel yang saya ambil, yang rata-rata anak SMA dan mahasiswa juga mahasiswi mengambilnya secara acak memakai jepitan seadanya kemudian memasukkannya dalam plastik bening lalu memanggil Tim Ahli Forensik biar penelitian ini dibantu oleh pihak yang berwenang dan berpengalaman. ‪#‎ckck‬
Kemarin saya telah memaparkan penyebab 'sementara' mengapa minat menulis itu kurang, yaitu dipicu oleh jarang membaca. Nah, bagaimana kita akan mendapatkan ide yang baik jika kita jarang membaca? Itulah akar permasalah yang sementara saya temukan di lapangan kemarin, selain lapangannya basah karena hujan, juga bola yang di pakai menjadi berat sehingga pemain kewalahan dan cepat capek. Apa yang kita tulis itu tidak semua tergantung apa yang kita baca. Itulah saya menemukan fakta baru. Jarang membaca juga menyebabkan galau berkepanjangan (dari fakta pertama). Saya teringat kata pepatah klasik, "Bersakit-sakit dahulu, meriang-meriang kemudian". Jarang membaca menyebabkanmu sakit untuk memulai sebuah tulisan. Hanya bergantung padanya, engkau akan galau karena jarang membaca hatinya yang mulai tenggelam di palung laut terdalam, kau bergantung pada tempat yang rapuh. Kaupun ikut terjatuh dan tak bisa bangkit lagi, mencoba berdiri kembali berlari lalu tersesat dan tak tau arah jalan pulang jadilah butiran-butiran debu.. *jleb ‪#‎kemudianpingsan‬ (maaf, ini di luar analisa, tetiba si Rumor merasuk di otakku lalu mengacak sendi-sendi ideku).
 
Lanjut pembahasan jarang membaca adalah penyebab 'sementara' yang memicu minat menulis itu menjadi nol derajat. Dingin.
Yah, itu. Jarang membaca dan minat menulis, sangat tidak serasi. Seperti engkau memakai jas di pasangkan dengan boxer, atau gaun dengan kopiah. Oleh sebab itu membaca itu perlu. Engkau tidak akan bisa menulis kisah kita di sini, jika engkau tidak dapat membaca hatiku (ini contoh). Membaca dan membaca. Membaca di sini tidak hanya terpaku pada buku saja. Membaca tidak harus itu buku, bacalah apa yang engkau lihat dan rasakan. Bagaimana pula engkau akan membaca hatiku, jika engkau berpaling kemudian tidak menganggap aku ada. Sakit. Aduh mama sayangeeee..!!! (copas kalimat yang sering digunakan oleh Kak Abdur, runner-up SUCI4).

Lihat dan juga rasakan, semua yang di sekitarmu. Siang, malam, senja, embun, pagi, awan hitam, pelangi, orang-orang, kesalahan hidup, itu semua bisa menjadi ide untuk menjadikan jarang membaca bukan lagi menjadi masalah 'sementara' tuk menjadikan minat menulis itu nol derajat. Setidaknya bisa menjadi hangat pada suhu dua puluh tujuh derajat. Suhu standar. Tidak perlu untuk terobsesi menulis yang langsung Best Seller. Hehehe..
Jangan berpikir keras untuk menulis atau memulai sebuah tulisan. Seperti kata-kata oleh Abinya Azka, "Tulislah apa yang engkau pikirkan, jangan pikir apa yang engkau akan tulis". Kurang lebih mirip atau bisa jadi seperti itu kalimatnya.
Nah, mengenai fakta baru dari penelusuran saya pada sampel yang menjadi pilihan, saya akan bahas dikemudian hari. Berhubung jempol saya makin keram setelah capek ngetik, tulisan sebelumnya yang hampir selesai tiba-tiba lenyap. Resiko menulis bukan di kompi atawa leppy. Akhirnya menulis ulang yang kurang lebih hampir sama, yang sebelumnya panjang dari ini. Hanya mengandalkan jempol dan si "Jimbey" (nama smartphone sumsang saya).

#kemudianbersambung

Survei Gaje Part I

Ada yang bertanya tentang seberapa besar minat menulis para remaja atau juga orang yang telah baligh di kota Luwuk, saya telah menemukan akar dari yang saya anggap (sementara) itu sebuah masalah. 
Mengapa saya mengatakan 'sementara', karena masih banyak kemungkinan yang bisa terjadi. Maksud dari 'sementara' di sini adalah bukan keabadian. Dari hasil survei dari beberapa sampel saya temukan akar permasalahan itu terbagi dua, yaitu ada yang berbentuk serabut juga tunggal. Yang tunggal di sini jelas dia tidak punya saudara, sedangkan yang serabut itu juga sudah jelas bukan tunggal.
 
Lanjut dari mengapa minat menulis itu menjadi masalah yang sementara pada remaja adalah karena jarang membaca. Nah jarang membaca inilah pemicu minat menulis juga menjadi masalah sementara. Jarang membaca juga dipicu oleh dua faktor, yaitu faktor jarang juga faktor membaca. Jika hanya faktor jarang saja, tidak dapat dikatakan jarang membaca. Karena tidak dapat memenuhi kriteria untuk bisa dikatakan jarang membaca. Begitu juga dengan membaca, jika hanya membaca saja tidak juga bisa masuk kriteria jarang membaca, yang bisa memicu bahwa minat menulis itu di akibatkan oleh jarang membaca. Nah, tunggu hasil survei berikutnya, semoga minat menulis ini bukan lagi masalah sementara.

Kembali Mengingat

Pagi
Kau datang lagi, setelah malam kelam
Setelah cahaya temaram lampu kota mengikat ruang udara
Setelah mimpi menggoda lelap
Setelah purnama berlalu
Setelah cakrawala gelap matahari yang bersembunyi
Setelah kumpulan hawa dingin ingin menjemput mentari
Hujan hari ini
Rahmat pagi ini, turun menyelimuti
Entah beberapa menuturkan keluhan
Entah mereka peka dalam syukur
Silahkan protes kepada Malaikat
Kelam langit pagi ini, menyimpan sedih
Adakah yang merasakan derita?
Mungkin saja ini gambaran air mata
Anak-anak dan para ibu korban roket di bumi Syam, bumi para Nabi. 
Gaza, Palestina.


Pagi, 08:14 WITA.

Kamis, 17 Juli 2014

Catatan Kecil

Cahaya kuning terang mengintip dari ufuk timur mengganggu kelopak mataku tuk terpejam, silaunya di ikuti nyanyian burung-burung kecil pada ranting-ranting pohon di atas tempatku mendirikan tenda, padang rumput hijau yang basah oleh beningnya embun, ilalang menari diterpa angin sepoi-sepoi, aroma rerumputan entah itu aroma humus tanah yang subur akibat hujan semalam. Orang banyak bercerita bahwa itu bau hujan, tetapi bagiku aroma itu keindahan yang dihadirkan air saat menyentuh tanah, sebuah keindahan kedua setelah hujan menghadirkan pelangi. Ada juga sepasang kupu-kupu terbang saling mengejar lalu hinggap di tepi air kecil yang mengalir melewati sela-sela batu sedikit berisik tetapi kedengaran damai. Tampak di antara aliran itu ada yang tak beriak terdapat ikan dan udang kecil yang bermain walau dalamnya hanya sekitar dua jengkal memakan lumut dan ganggang yang menempel pada akar pohon di tepi aliran kecil itu. Aku menyerup kopi susu yang masih hangat di cangkir merah bergambar salah satu klub bola raksasa Inggris favoritku, Manchester United. Mataku masih sedikit sayup sisa kantuk semalam masih menggoda tuk melanjutkan kembali berlaga di dunia mimpi dalam tenda orange menciptakan dunia sendiri yang datangnya juga sendiri. Teman-temanku masih serius berlaga di dunia itu, menciptakan dunianya masing-masing. Ada yang gayanya model pistol, mungkin untuk meminimalisir rasa dingin meningkatkan rasa hangat, tetapi kenyataan dan yang biasa ku rasakan dan lakukan begitu jika merasakan dingin. Ada juga yang masuk dalam sleeping bag, aku hanya asyik menikmati kopi susu hangatku sambil menikmati sunrise dan aroma alam. Dalam keadaan yang sama di sudut tenda yang lainnya seorang gadis memakai jaket gunung berlogo pohon cemara, yang tidak asing bagiku melakukan hal yang sama denganku, rambutnya tertutup jilbab hijau botol, aku melihatnya kemudian ingin masuk dalam dunia berpikirnya. Tetiba dia menatapku, mungkin dia sadar bahwa aku sedang memperhatikannya, dia tersenyum simpul. Sebenarnya dia dan aku tidak saling mengenal, cuma gegara sekota aku sering melihatnya. Temanku bersahabat dengannya, cuma ketika mendaki bersama dia ikut kemping. Pernah juga aku berpapasan masuk dalam sebuah warung kopi yang cukup dikenal di kota ini, kebetulan pada meja yang berhadapan. 
Dia menegur dan bertanya: "suka bertualang ya?" 
Aku menjawab: "iya. Knapa?" 
"Kelihatan dari gayanya" sambungnya. mungkin saja dia memperhatikan aku, atau juga mungkin dari daypack yang ku pakai. 
"Cuma bertualang saja?" tanya dia lagi.
"Bukan cuma itu aku suka sosok Norman Edwin juga Soe Hok Gie". lanjutku. kemudian asyik otak-atik layar gadget milikku.
luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com