Sore yang semestinya kau nikmati dengan canda anak-anakmu kini berganti muram dan penyesalan yang berkepanjangan. Yah seperti kemarau yang merindukan hujan, gambaran hatimu terpancar jelas dari mimik tatapan itu. Menyesal. Itukah yang kau mau? Tidak mungkin kan? Tetapi mengapa kau melakukannya. Yang sebelumnya engkau sebenarnya telah menemukan kebahagiaan, kebahagiaan yang kau sia-siakan. Sekarang dimanakah kebahagiaan yang kau jalani selama pernikahanmu, yang berganti menjadi bara api yang meneror setiap detik nafasmu ketika melihat foto ukuran 100x125 cm dengan senyum lebar terpampang lebar di ruang kamarmu yang kau pajang untuk selalu mengenangnya, namun tetap saja tidak ada setetes embun yang bisa menyejukkan bara penyesalan di hatimu.
Yah semenjak hari itu.
Hari di mana kuliahmu padat dengan segala rutinitas kampus yang melelahkan di tambah lagi dengan tugas dosen yang minta ampun banyaknya. Belum lagi artikel-artikel yang wajib kau setor tiap harinya di majalah kampus yang kebetulan kaulah sebagai koordinatornya. Hari yang melelahkan, seperti biasanya jika penat menghampirimu kau duduk santai di bawah pohon rimbun samping fakultas salah sat perguruan tinggi tempatmu menimba ilmu. Fotogafer, Itulah cita-citamu semenjak duduk di bangku SMA negeri di kota Bandung yang sampai saat ini sudah tercapai ketika masuk di perguruan tinggi. Semester 6 adalah di mana segala tuntutan kepada mahasiswa terdapat di sana. Belum lagi jika masuk dalam organisasi kampus.
NB: potongan cerita dari buku yang rencana aku buat
Minggu, 09 Juni 2013
Sabtu, 01 Juni 2013
Go
Dan jika pagi tak bisa menghadirkan embun, ku berharap sore menghadirkan merahnya senja.
kau tau senja?
sebelum malam pekat yang menyimpan misteri, setidaknya aku bisa menyaksikan cahaya tenggelam sebelum aku menjelajahi malam.
kita ada dari tiada, kembali ke tiada.
kau tau senja?
sebelum malam pekat yang menyimpan misteri, setidaknya aku bisa menyaksikan cahaya tenggelam sebelum aku menjelajahi malam.
kita ada dari tiada, kembali ke tiada.
Selasa, 21 Mei 2013
Bukan Dari Ini
Selembar tirai
penghalang kau ciptakan secara diam
Apakah itu keraguan atau sekedar angin segar yang kau
butuhkan?
Ah, itu tidak masalah
Aku tersenyum simpul, mungkin kau kurang memahami rasaku
Aku cukup mengerti
Bila itu kejenuhanmu, janganlah menjauh dan mengeluh
Aku tak bisa memberikan lebih dari apa yang kau mau
Apa yang kau cari tak kau temukan padaku
Hanya sebongkah tubuh yang tak berlemak, yang merindu
Tiba sesaat kau menemukannya dari sosok yang lain dari sorot
matanya
Sekali lagi itu aku maklumkan, sebagai tirai yang harus aku
lewati
Dekatlah..
Aku yang selalu menerima, walaupun tidak semua bisa kau
terima
Pecahan kaca jendela memantulkan cahaya, aku bisa bercermin
Secarik masa - masa dari sampul kehidupan, geram tak beri isyarat
Kumpulan cerita menjadi – jadi seolah retak tak bertuan
Sekali lagi aku hanya bisa tersenyum.
Lukisan usangku, aku tak mau menjadikannya sebagai kenangan
Impian besarku, kita.
Aku cukup mengerti.
Mungkin suatu saat yang terulang, aku tidak dapat berbuat
apa-apa lagi.
Minggu, 12 Mei 2013
Entahlah
Cakrawala sore ini begtu sesak dengan tebalnya awan Nimbrostratus yang tidak kelihatan
ujungnya, aku larut menatapnya seperti ada sebuah keindahan yang tersirat dari
bentuk-bentuknya.
Hujan pun mulai menjamah permukaan tanah yang kering pecah,
tanah yang seolah rindu sentuhan air.
Tanah yang seperti selalu berusaha menggapai
langit.
Hujan semakin menjadi, aku masuk kamar yang mirip studio
foto berpita. Suara-suara yang bising pun tertutupi dengan suara ribut diatap
rumahku.
Terkadang aku merasakan rindu yang sangat kuat ketika titik hujan itu
datang dengan perlahan.
Mataku mulai
terbelalak, bukannya merasa mengantuk dengan kehadiran titik-titik air yang
turunnya rombongan. Yah.. aku rindu si pencinta hujan.
Di ruangan itu, aku merasakan sesuatu. Bahwa dia tidak mendengar
kata-kataku.
Asyiknya di belakangku.
Aku dalam tulisan indahmu, lebih indah dari apa yang disebut keindahan.
Aku di nyatamu seolah tidak berarti.
Minggu, 14 April 2013
Dari kata sederhana, hidupku yang sederhana.
Baiklah, mungkin ini jawaban dari pertanyaanmu. Kamu tidak
salah memperbaiki semua itu, tetapi kau sudah keliru membiarkanya ikut masuk
kedalamnya. Mungkin akulah yang harus keluar, karena sering aku ingatkan
janganlah pernah mencoba yang membuatmu terjebak sendiri. Maaf mungkin aku
sudah terlalu trauma atas kejadian yang telah berlalu. Tetapi ternyata kau juga
melakukannya. karena begitulah awal terjadinya.
Rasa penasaranmu membuatmu tidak sadar akan hal besar yang
telah kita lewati, haruskah hilang begitu saja?
Dia selalu memintamu begini dan begitu, aku tidak bisa
menebak apa yang terjadi antara kau dengannya. Kau ragu dengan keputusanmu, kau
ragu dengan pertemananmu, kau pun ragu untuk meninggalkan jejaknya.
Aku selalu mengingatkanmu, bukanlah suatu keegoisan yang ku pelihara. Tetapi ingatlah, semua cerita-cerita yang telah terukir panjang. Aku tak mau kau terlena lama dan masuk kedalamnya. Semakin lama kau tak akan bisa pulang dan menguncimu. Jika itupun terjadi, aku akan berusaha menyelamatkanmu.
Jika itu keputusanmu tuk lama di dalamnya, aku akan memiliki
pagar-pagarku sendiri. Hingga ada yang datang mau membukanya denga tulus. Tak terkecuali
dirimu.