Kita berbeda, kamu tidak akan pernah mungkin bisa mengerti seperti yang aku inginkan. Kita berbeda, ada beberapa hal yang tidak kamu pahami tentangku. Kita berbeda, makanya aku menjauh. Kita tidak bisa bersama lagi.
Itu kalimat terakhir yang terkirim dari pesan singkatmu. Yah memang belakangan ini kamu menuntut banyak padaku, memintaku menuliskan tentang bagaimana sosokmu di mataku, tentang berapa besar perjuanganku untuk bisa mempertahanmu, tentang seperti apa usaha yang aku jalani selama ini, tentang pekerjaan apa yang bisa menjamin masa depanmu nanti. Kamu tahu semua itu sudah aku jalani, mungkin prosesnya yang membuatmu kurang bersabar. Aku selalu dan tetap berusaha. Seberapa maju langkahku itu, kamu tidak pernah melihatnya, hanya bisa bertanya padaku atau teman-teman terdekatku. Iya, semenjak kamu memutuskan melanjutkan kuliah Pascasarjana untuk meraih gelar Magister di jurusan Fisika yang sama seperti jurusan Sarjanamu. Semua cita-cita tersusun rapi saat kita bercerita tentang bagaimana masa depan kita. Banyak, seperti tumpukan buku-buku di ruang khusus yang akan menjadi perpustakaan pribadiku. Hingga aku bisa menyusunnya dengan rapi di rak yang berbentuk silinder. Semua itu mudah, tetapi butuh proses, dimana aku harus memilah mana tulisan fiksi dan di bagian mana bagian tentang nonfiksi, juga ada buku tentang National Geographic koleksiku. Begitu susunannya rapi barulah itu aku kan menyusun tempat di mana buku lainnya aku tempatkan. Mungkin tidak jauh berbeda dengan proses langkah yang aku lakukan apa yang menjadi tuntutanmu. Kemarin aku masih merasakan semangat darimu untukku, hingga kulakukan semua dengan tulus. Semenjak engkau mulai smester S2 bertemu dengan teman-teman berbeda seperjuanganmu sambil bercerita tentang masa depan berikutnya, kaupun tidak mau kalah dengan mereka. Hingga kita bertengkar karena mendengarku belum juga lolos masuk di perusahaan terbesar di kota kita, tempat yang meyakinkan, baik dari gaji dan tunjangan kesejahteraan. Kau marah sampai aku tidak bisa berbuat bagaimana lagi. "Kita break dulu sampai kau menemukan pekerjaan yang bisa menjanjikan. Kau kan yang akan menjadi kepala Rumah Tangga nantinya, mau kau kasih apa aku?". Itulah kalimatmu sebelum memutuskan mematikan tiba-tiba ponselmu sebelum aku menjawabnya. Itu juga pertama kau menyebut kata "kau" yang sebelumnya kamu selalu memanggilku "cinta" dalam kalimat apapun itu padaku. Itu juga membuatku menjadi buntu. Biasanya kamu memberi semangat aku tidak perduli dengan diriku, seberapa lelah usahaku, seberapa jauh aku melangkah asalkan kamu tersenyum dan tetap denganku. Itu saja. Ini bukan keluhan, karena aku tidak pernah menyesali semua.
Kalimat terakhirmu itu juga menjadi batas komunikasiku denganmu. Ini sudah bulan ke-tujuh setelah itu. Aku memang jatuh sesaat, tetapi semangatku tetap ada dan berusaha. Aku berpikir itu mungkin kamu katakan karena benar saat marah saja, "mungkin akan berubah pikiran lagi.." gumamku dalam hati sebagai penyemangat. Semenjak lima bulan lalu aku memulai membuka bisnis desain yang aku pelajari saat kuliah yang pemesanannya online dari seluruh Indonesia. Untungnya lumayan, karyawanpun sudah mulai ada aku menjadi koordinatornya, hingga aku membuat sendiri tempatnya yang sebelumnya menyewa. Sambil menunggu panggilan -dinyatakan lulus- oleh perusahaan tempatku melamar. Aku selalu berharap nomorku dihubungi setelah mengikuti pendaftaran Batch 9 seminggu yang lalu, ini sudah keenam kalinya aku mencoba lagi. Aku juga tidak lepas berharap kau menghubungiku, karena menghubungimu sudah tidak bisa lagi. Nomor dan Pin BBM-mu sudah terganti, akun Facebook dan Twittermu juga telah memblokirku. Aku cuma berharap dan terus berharap kamu tetap ada di sana yang terpenting di hati dan pikiranmu masih ada bayangan kenangan tentangku.
Selang hari ke empat belas, jawaban dari perusahaan datang langsung kerumahku. Ini bukan melalui ponsel, tetapi bagian penerimaan langsung menemuiku. Aku sebenarnya sudah di terima semenjak mendaftar pertama. Tetapi ada hal yang tidak bisa dikatakan pihak perusahaan sampai kenapa aku di katakan tidak lulus.
Ini akan menjadi berita baik untukmu pasti kamu senang. Purnama ke duabelas aku memutuskan tuk menemuimu dan mengatakan langsung berita ini, sambil membawa cincin yang ku pesan sebagai tanda ikatan untukmu.
Setelah terbang selama dua jam, aku sampai di kota tempatmu kuliah, singgah di rumah tempatmu menyewa. Kamu pernah memberiku alamatnya sebelum kita break tetapi katanya sudah pindah bulan lalu akupun memutuskan langsung menuju kampusmu. Berpakaian seperti mahasiswa sambil melirik kanan kiri pada gedung-gedung -salah satu kampus terbesar di Indonesia itu- aku berjalan menuju gedung jurusanmu. Rambutku gondrong di bawah bahu, karena selama delapan bulan belum bercukur, dengan sedikit janggut yang selalu ku rapihkan jika sudah sepanjang ukuran genggaman, mahasiswa-mahasiswa yang nongkrong banyak melihatku heran. Masih jamankah gondrong? Begitu mungkin kata dalam hati mereka. Setahun lebih tidak bertemu dan komunikasi membuatku cuek dengan semua. Semenjak dari berangkat aku hanya bertanya dalam hati, bagaimanakah kamu sekarang? Masihkah kamu menyimpan rasa terhadapku? Masih ingatkah tentang cita dan cinta kita dahulu? Pudarkah?
Kamar Sempit, 8 Mei 2014.
0 komentar:
Posting Komentar